Sabtu, 19 Maret 2016

MASA KEMUNDURAN KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM



Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: M. Imam Syafi’i, M.Pd
 

Stai Sangatta

                                                                                

Disusun Oleh :
SLAMET MUJAHIDIN
 
Jurusan tarbiyah
prodi pendidikan agama islam
sekolah AGAMA ISLAM (stai) sangatta
kutai timur
2015/2016






KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena alhamdulillah
dengan limpahan karunia dan nikmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurah pada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW, kepada para Sahabatnya, keluarga, serta sampai kepada kita
selaku umatnya. Amin.      
Makalah berjudul “ Masa Kemunduran Kerajaan-Kerajaan islam” ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas yang diberikan dosen mata kuliah “ Sejarah Peradaban Islam ”. Dan semoga, selain memenuhi.
tugas tersebut, makalah ini dapat bermanfaat bagi khalayak pembaca pada umumnya dan kami khususnya.
Kritik dan saran sangat kami harapkan dalam upaya perbaikan kami dalam
membuat makalah. Karena sangat kami sadari pembuata makalah ini sarat akan.






















             DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...................................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah.................................................................................................. 1
C.     Tujuan Penulisan.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A.      Kemunduran dan Kerajaan Syafawi.................................................................... 2
B.       Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal.................................................. 4
C.       Kemunduran Kerajaan Usmani............................................................................ 7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................... 13






BAB I
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang Masalah
          Sebagaimana telah disebutkan dalam makalah ini sebelumnya kerajaan-kerajaan besar ini mengalami puncak kejayaan, seperti puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Usmani terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, puncak kemajuan kerjaan Safawi pada masa pemerintahan Abbas I. dan puncak kemajuan kerjaan Mughal pada masa Sultan Akbar. Setelah masa tiga orang raja besar tiga kerajaan tersebut, maka kerajan-kerajaan itu mulai mengalami kemunduran. Akan tetapi proses kemunduran itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda. Oleh karena itu penulis membahas tentang masalah atau proses kemunduran dari tiga kerajaan besar tersebut.

B. Permasalahan
     1.   Bagaimana penyebab dari kemunduran dankehancuran kerajaan Safawi ?
     2.   Bagaimana penyebab dari kemunduran dan kehancuran kerajaan Mughal ?
     3.   Bagaimana penyebab dari kemunduran dan kehancuran kerajaan Usmani ?

C. Tujuan
     1.   Mengetahui penyebab kemunduran dan kehancuran dari kerajaan Safawi.
     2.   Mengetahui penyebab kemunduran dan kehancuran dari kerajaan Mughal.
     3.   Mengetahui penyebab kemunduran dan kehancuran dari kerajaan Usmani.







BAB II
PEMBAHASAN


A.  Kemunduran dan Kerajaan Safawi
                     Sepeninggal Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza (1628-1642 M). abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain (1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). pada masa raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa kepada kehancuran.
                     Safi Mirza, cucu Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah ia capai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh Kerajaan Usmani.
                     Abbas II adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya, akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Pengganti Sulaiman ini memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.
                     Pemberontakan bangsa Afghan tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhadil merebut wilayah Qandahar. Pemerontakan lainnya terjadi di Herat, suku Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil. Dengan kekuatan gabungan ini, Mir Mahmud berusaha memperluas wilayah kekuasaan Safawi. Ia bahkan berusaha menguasai Persia.
                     Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya sebagai Gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein). Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud menjadi lebih leluasa bergerak. Pada tahun 1721 M, ia dapat merebut Kiramn. Tak lama kemudian, ia dan pasukannya menyerang Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Shah Husein menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh kemenangan.
                     Salah seorang putra Husein, bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh suku Qazar dari Rusia, memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmasp II bekerja sama dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memmerangi dan mengusir bangsa Afghan yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian, dinasti Safawi kembali berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp) yang ketika itu masih sangat kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian, berakhirlah kekuasaan dinasti Safawi di Persia.
                     Di antara sebab-sebab kemunduran dan kehancuran kerajaan-kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya. Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun, tak lama kemudian, Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada lagi perdamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
                     Penyebab lainnya adalah dekadensi moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, di samping pecandu berat narkotik, juga menyenangi kehidupan malam beserta harem-haremnya selama tujuh tahun tanpa sekali pun menyempatkan diri menangani pemerintahan. Begitu juga Sultan Husein.
                     Penyebab penting lainnya adalah karena pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak melalui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizilbash. Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak memiliki militasi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash sebelumnya.
                     Tidak kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah seringnya terjadi konflik intern dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.

B. Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal
                       Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya, para penajut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepempinan di tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis  Hindu di India tengah, Sikh dibelahan utara dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai wilayah pantai.

                       Pada masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul, tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ini wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu menghadapi problema yang ditinggalkannya.
                       Sepeninggal Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini kemudian bergelar Bahadur Syah(1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya.
                       Syah Alam meninggal tahun 1806 M. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II (1806-1837 M). Pada masa pemerintahan Akbar memberi konseso kepada EIC untuk mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris, tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan demikian, kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan gelar Sultan dipertahanka. Bahadar Syah (1837-1858), penerus Akbar, tidak menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik antara dua kekuataan tersebut.
                       Pada wkatu yang sama, pihak EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan administrasi perusahaan yang kurang efisien, padahal mereka harus tetap menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalamrangka mengembalikan kekuasaan Kerajaan Mughal di India. Dengan demikian, terjadilah perlawanan rakyat India terhadap kekuataan Inggris pada bulan Mei 1857 M.
                       Perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi, rumah-rumah ibadaha banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal terakhir, diusir dari istana (1858 M). Dengan demikian, berakhirlah sejarah kekuasaan dinasti Mughal di daratan India dan tinggalah di sana umat Islam yang harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
                       Ada beberapa faktor yang menyebaban kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M, yaitu :
    
           1.   Terjadi stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
             2.   Kemerosotan moral dan hidup mewah di kalangan elit politik yang mengakibatkan pemborosan dalam penggunaan uang negara.
           3.   Pendekatan Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan kecenderungan asketisnya, sehinngga konflik antaragama sangat sukar diatasi oleh sultan-sultan sesudahnya.
             4.   Semua pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang `       lemah dalam bidang kepemimpinan.







C.      Kemunduran Kerajaan Usmani
                  Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman Al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, trejadi pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran ini, Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut oleh musuh. Baru pada masa sultan berikutnya, Sulyan Murad III, pada tahun 1575 M Tunisia dapat direbut kembali.
                  Walaupun Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan mengalahkan Bosnia pada tahun 1593 M.
Namun, kehidupan moral sultan yang jelak menyebabkan timbulnya kekacauan ini makin menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-163 M), pengganti Murad III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan menenggelamkan janda-jandanya ayahnya sejumlah 1 orang demi kepentingan pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I (1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I masa pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan keuda (1622-1623 M). Karena gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut.. langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV (1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dna menertibkan pemerintahan Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi negara secara keseluruhan.
                  Situasi politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini, orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia kecil) pada kedudukan sebagai wazir atau shard al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh anaknya, Ibrahim, Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama sekali.
                  Karena itu, ia menyerbu Hongaria dna mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya, wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari kekuasaannya, dierbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun.



                  Pada tahun 1699 M, terjadi “Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria, sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenietz, Padolia, Ukrania, Morea, dan Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada tahun 1770 M, tentara Rusia mengalahkan armada tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi kekuataannya.
                  Sultan Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan abd Al Hamid (1774-1789 M), seorang yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia. Isi perjanjian itu antara lain : (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut Putih, dan Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman.
                  Demikianlah proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama 2 abad lebih setelah ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh pertama abad ke-19 M. Oleh karena itu, satu per satu negeri-negeri di Eropa yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba bangkit memberontak.
                  Di Mesir, kelemahan-kelemahan Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemipinan Ali Bey, pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon Bonaparte dari perancis tahun 1978 M. Di Libanon dan Syria, Fakhr Al-Din, seorang pemimpin Druze berhasil menguasai Palestina dan pada tahun 1610 M, merampas Bahalbak dan mengancam Damaskus Fakhr Al-Din baru menyerah tahun 1635 M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai pemenang. Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara pemimpin agama Muhammad ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan Wahhabiyyah dengan penguasa lokal Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa daerah di jaziarh Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M. Dengan demikian, pemerontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika ia sedang mengalami kemunduran, bukan saja terjadi di daerah-daerah yang tidak beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk Muslim.
                  Gerakan-gerakan seperti it uterus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya, yaitu pada abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan gerakan pembaharuan politik di pusat pemerintahannya, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik Turki pada tahun 1924 M.
                  Banyak faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya adalah :
 1.   Wilayah kekuasaan yang sangat luas
                      Administrasi pemerintahan bagi suatu negara yang amat luas wilayahnya sangat rumit dan kompleks, sementara administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di pihak lain, para pengusaha sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas, sehingga mereka terlibat perang terus menrus dengan berbagai bangsa. Hal ini tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun negara.
   2.    Heterogonitas penduduk
                    Sebagian kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hejaz, dan Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunis, dan Aljazair di Afrika, dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik dari segi agama, ras, etnis maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut. Perbedaan bangsa dan agama cap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan dan peperangan.
   3.    Kelemahan para penguasa
                    Sepeninggal Sulaiman Al-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah, baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna.
          4.   Budaya pungli
                    Pungli merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmai. Setiap jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin rapuh.
    5.     Pemberontakan tentara Jenissari
                 Kemajuan ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari. Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kalau tentara ini memberontak. Pemberontakan tentara Jenissari terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1525 M, 1623 M, 1727 M, dan 1826 M.
     6.    Merosotnya ekonomi
                 Akibat perang yang tak pernah berhenti, perekonomian negara merosot. Pendapatan berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk untuk biaya perang.
     7.    Terjadinya Stagnasi dalam lapangan ilmu dan pengetahuan
                 Kerajaan Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu, tidak terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitannya dengan perkembangan metode berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan menurunnya semangat berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran filsafat sejak masa Al-Ghazali.
           Demikianlah proses kemunduran kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, di periode modern, kelemahan kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.














BAB III
PENUTUP


A.  Kesimpulan
            Berdasarkan dari isi makalah tersebut penulis menyimpulkan bahwa kemunduran-kemunduran dari tiga kerajaan tersebut adalah dimuali setelah masa berakhirnya tiga orang raja besar di kerajaan tersebut.
            Seperti Kerajaan Usmani mencapai kejayaan pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M), Kerajaan Safawi mengalami puncak kejayaan pada masa Abbas I (1588-1628 M). Dan Kerajaan Mughal mengalami puncak kejayaan pada masa Sultan Akbar (1542-1605 M). Dan proses kemunduran tersebut berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda.


















DAFTAR PUSTAKA


                  Dr. Badri Yatim MA. 2005. Sejarah Peradaban Islam (SPI). Jakarta : Raja Grafindo Persada

                  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Sejarah Umum I Untuk SMP,Jakarta

            
Soeroto, 1968, Sejarah Indonesia dan Dunia. Jilid 1 untuk SMP, Gajah Mada, Jakarta.

M.C. Ricklefs. 1998. Sejarah Nasional Indonesia IV. Yogakarta: UGM.

Marwati.Nugroho.1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: balai Pustaka





Tidak ada komentar:

Posting Komentar