Makalah Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Kelompok
Mata Kuliah: Sejarah Peradaban Islam
Dosen Pengampu: M. Imam Syafi’i, M.Pd
Disusun Oleh :
SLAMET MUJAHIDIN
Jurusan
tarbiyah
prodi pendidikan
agama islam
sekolah
AGAMA ISLAM (stai) sangatta
kutai timur
2015/2016
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena alhamdulillah
dengan limpahan karunia dan nikmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurah
pada Nabi akhir zaman
Muhammad SAW, kepada para Sahabatnya, keluarga, serta
sampai kepada kita
selaku umatnya. Amin.
Makalah berjudul “ Masa Kemunduran
Kerajaan-Kerajaan islam” ini kami buat untuk memenuhi salah satu tugas yang
diberikan dosen mata kuliah “ Sejarah Peradaban Islam ”. Dan semoga, selain
memenuhi.
tugas tersebut, makalah ini dapat
bermanfaat bagi khalayak pembaca pada umumnya dan kami khususnya.
Kritik dan saran sangat kami
harapkan dalam upaya perbaikan kami dalam
membuat makalah. Karena sangat kami sadari pembuata
makalah ini sarat akan.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...................................................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.................................................................................................. 1
C. Tujuan
Penulisan.................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Kemunduran
dan Kerajaan Syafawi.................................................................... 2
B. Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal.................................................. 4
C. Kemunduran Kerajaan Usmani............................................................................ 7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan............................................................................................................... 13
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Sebagaimana
telah disebutkan dalam makalah ini sebelumnya kerajaan-kerajaan besar ini
mengalami puncak kejayaan, seperti puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan
Usmani terjadi pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Al-Qanuni, puncak
kemajuan kerjaan Safawi pada masa pemerintahan Abbas I. dan puncak kemajuan
kerjaan Mughal pada masa Sultan Akbar. Setelah masa tiga orang raja besar tiga
kerajaan tersebut, maka kerajan-kerajaan itu mulai mengalami kemunduran. Akan
tetapi proses kemunduran itu berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda.
Oleh karena itu penulis membahas tentang masalah atau proses kemunduran dari
tiga kerajaan besar tersebut.
B. Permasalahan
1. Bagaimana penyebab dari kemunduran dankehancuran
kerajaan Safawi ?
2. Bagaimana penyebab dari kemunduran dan
kehancuran kerajaan Mughal ?
3. Bagaimana penyebab dari kemunduran dan
kehancuran kerajaan Usmani ?
C. Tujuan
1. Mengetahui penyebab kemunduran dan kehancuran
dari kerajaan Safawi.
2. Mengetahui penyebab kemunduran dan kehancuran
dari kerajaan Mughal.
3. Mengetahui penyebab kemunduran dan kehancuran
dari kerajaan Usmani.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kemunduran
dan Kerajaan Safawi
Sepeninggal
Abbas I Kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi
Mirza (1628-1642 M). abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain
(1694-1722 M), Tahmasp II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). pada masa
raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan
berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran.
Safi Mirza, cucu Abbas I, adalah
seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap pembesar-pembesar
kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah ia capai oleh Abbas I
segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah Afghanistan) lepas
dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan Mughal yang ketika itu
diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad direbut oleh Kerajaan
Usmani.
Abbas
II adalah raja yang suka minum minuman keras sehingga jatuh sakit dan meninggal.
Meskipun demikian, dengan bantuan wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat
direbut kembali. Sebagaimana Abbas II, Sulaiman juga seorang pemabuk. Ia
bertindak kejam terhadap para pembesar yang dicurigainya, akibatnya, rakyat
bersikap masa bodoh terhadap pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim.
Pengganti Sulaiman ini memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah
yang sering memaksakan pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini
membangkitkan kemarahan golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak
dan berhasil mengakhiri kekuasaan Dinasti Safawi.
Pemberontakan bangsa Afghan
tersebut terjadi pertama kali pada tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang
berhadil merebut wilayah Qandahar. Pemerontakan lainnya terjadi di Herat, suku
Ardabil Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud
sebagai penguasa Qandahar. Ia berhasil mempersatukan pasukannya dengan pasukan
Ardabil. Dengan kekuatan gabungan ini, Mir Mahmud berusaha memperluas wilayah
kekuasaan Safawi. Ia bahkan berusaha menguasai Persia.
Karena desakan dan ancaman Mir
Mahmud, Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya
sebagai Gubernur di Qandahar dengan gelar Husein Quli Khan (budak Husein).
Dengan pengakuan ini, Mir Mahmud menjadi lebih leluasa bergerak. Pada tahun
1721 M, ia dapat merebut Kiramn. Tak lama kemudian, ia dan pasukannya menyerang
Husein untuk menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M, Shah Husein
menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh
kemenangan.
Salah seorang putra Husein,
bernama Tahmasp II, dengan dukungan penuh suku Qazar dari Rusia,
memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan
pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmasp II bekerja sama
dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memmerangi dan mengusir bangsa Afghan
yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan
digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri
terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian, dinasti Safawi kembali
berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M Tahmasp II dipecat oleh Nadir Khan
dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp) yang ketika itu masih sangat
kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat
dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian, berakhirlah
kekuasaan dinasti Safawi di Persia.
Di antara sebab-sebab kemunduran
dan kehancuran kerajaan-kerajaan Safawi ialah konflik berkepanjangan dengan
kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang
beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya.
Konflik antara dua kerajaan tersebut berlangsung lama, meskipun pernah berhenti
sejenak ketika tercapai perdamaian pada masa Shah Abbas I. Namun, tak lama kemudian,
Abbas meneruskan konflik tersebut, dan setelah itu dapat dikatakan tidak ada
lagi perdamaian antara dua kerajaan besar Islam itu.
Penyebab lainnya adalah dekadensi
moral yang melanda sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut
mempercepat proses kehancuran kerajaan tersebut. Sulaiman, di samping pecandu
berat narkotik, juga menyenangi kehidupan malam beserta harem-haremnya selama
tujuh tahun tanpa sekali pun menyempatkan diri menangani pemerintahan. Begitu
juga Sultan Husein.
Penyebab penting lainnya adalah
karena pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk oleh Abbas I tidak
memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash. Hal ini
disebabkan karena pasukan tersebut tidak disiapkan secara terlatih dan tidak
melalui proses pendidikan rohani seperti yang dialami oleh Qizilbash.
Sementara itu, anggota Qizilbash yang baru ternyata tidak memiliki
militasi dan semangat yang sama dengan anggota Qizilbash sebelumnya.
Tidak
kalah penting dari sebab-sebab di atas adalah seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
B. Kemunduran dan Runtuhnya Kerajaan Mughal
Setelah satu setengah abad dinasti Mughal berada di puncak kejayaannya,
para penajut Aurangzeb tidak sanggup mempertahankan kebesaran yang telah dibina
oleh sultan-sultan sebelumnya. Pada abad ke-18 M kerajaan ini memasuki
masa-masa kemunduran. Kekuasaan politiknya mulai merosot, suksesi kepempinan di
tingkat pusat menjadi ajang perebutan, gerakan separatis Hindu di India tengah, Sikh dibelahan utara
dan Islam di bagian timur semakin lama semakin mengancam. Sementara itu, para
pedagang Inggris untuk pertama kalinya diizinkan oleh Jehangir menanamkan modal
di India, dengan didukung oleh kekuatan bersenjata semakin kuat menguasai
wilayah pantai.
Pada
masa Aurangzeb, pemberontakan terhadap pemerintahan pusat memang sudah muncul,
tetapi dapat diatasi. Pemberontakan itu bermula dari tindakan-tindakan
Aurangzeb yang dengan keras menerapkan pemikiran puritanismenya. Setelah ini wafat, penerusnya rata-rata lemah dan tidak mampu
menghadapi problema yang ditinggalkannya.
Sepeninggal
Aurangzeb (1707 M), tahta kerajaan dipegang oleh Muazzam, putra tertua
Aurangzeb yang sebelumnya menjadi penguasa di Kabul. Putra Aurangzeb ini kemudian
bergelar Bahadur Syah(1707-1712 M). Ia menganut aliran Syi’ah. Pada masa
pemerintahannya yang berjalan selama lima tahun, ia dihadapkan pada perlawanan
Sikh sebagai akibat dari tindakan ayahnya.
Syah
Alam meninggal tahun 1806 M. Tahta kerajaan selanjutnya dipegang oleh Akbar II
(1806-1837 M). Pada masa pemerintahan Akbar memberi konseso kepada EIC untuk
mengembangkan usahanya di anak benua India sebagaimana yang diinginkan Inggris,
tapi pihak perusahaan harus menjamin kehidupan raja dan keluarga istana. Dengan
demikian, kekuasaan sudah berada di tangan Inggris, meskipun kedudukan dan
gelar Sultan dipertahanka. Bahadar Syah (1837-1858), penerus Akbar, tidak
menerima isi perjanjian antara EIC dengan ayahnya itu, sehingga terjadi konflik
antara dua kekuataan tersebut.
Pada
wkatu yang sama, pihak EIC mengalami kerugian, karena penyelenggaraan
administrasi perusahaan yang kurang efisien, padahal mereka harus tetap
menjamin kehidupan istana. Untuk menutupi kerugian dan sekaligus memenuhi
kebutuhan istana, EIC mengadakan pungutan yang tinggi terhadap rakyat secara
ketat dan cenderung kasar. Karena rakyat merasa ditekan, maka mereka, baik yang
beragama Hindu maupun Islam bangkit mengadakan pemberontakan. Mereka meminta
kepada Bahadur Syah untuk menjadi lambang perlawanan itu dalamrangka
mengembalikan kekuasaan Kerajaan Mughal di India. Dengan demikian, terjadilah
perlawanan rakyat India terhadap kekuataan Inggris pada bulan Mei 1857 M.
Perlawanan
mereka dapat dipatahkan dengan mudah, karena Inggris mendapat dukungan dari
beberapa penguasa lokal Hindu dan Muslim. Inggris kemudian menjatuhkan hukuman
yang kejam terhadap para pemberontak. Mereka diusir dari kota Delhi,
rumah-rumah ibadaha banyak yang dihancurkan, dan Bahadur Syah, raja Mughal
terakhir, diusir dari istana (1858 M). Dengan demikian, berakhirlah sejarah
kekuasaan dinasti Mughal di daratan India dan tinggalah di sana umat Islam yang
harus berjuang mempertahankan eksistensi mereka.
Ada
beberapa faktor yang menyebaban kekuasaan dinasti Mughal itu mundur pada satu
setengah abad terakhir dan membawa kepada kehancurannya pada tahun 1858 M,
yaitu :
1. Terjadi
stagnasi dalam pembinaan kekuatan militer sehingga operasi militer Inggris di
wilayah-wilayah pantai tidak dapat segera dipantau oleh kekuatan maritim
Mughal. Begitu juga kekuatan pasukan darat. Bahkan, mereka kurang terampil
dalam mengoperasikan persenjataan buatan Mughal sendiri.
2. Kemerosotan
moral dan hidup mewah di kalangan elit politik yang mengakibatkan pemborosan
dalam penggunaan uang negara.
3. Pendekatan
Aurangzeb yang terlampau “kasar” dalam melaksanakan ide-ide puritan dan
kecenderungan asketisnya, sehinngga konflik antaragama sangat sukar diatasi
oleh sultan-sultan sesudahnya.
4. Semua
pewaris tahta kerajaan pada paruh terakhir adalah orang-orang ` lemah dalam bidang kepemimpinan.
C. Kemunduran Kerajaan Usmani
Setelah Sultan Sulaiman Al-Qanuni wafat (1566 M), kerajaan Turki Usmani
mulai memasuki fase kemundurannya. Akan tetapi, sebagai sebuah kerajaan yang sangat
besar dan kuat, kemunduran itu tidak langsung terlihat. Sultan Sulaiman
Al-Qanuni diganti oleh Salim II (1566-1573 M). Di masa pemerintahannya, trejadi
pertempuran antara armada laut Kerajaan Usmani dengan armada laut Kristen yang
terdiri dari angkatan laut Spanyol, angkatan laut Bundukia, angkatan laut Sri
Paus, dan sebagian kapal para pendeta Malta yang dipimpin Don Juan dari
Spanyol. Pertempuran itu terjadi di Selat Liponto (Yunani). Dalam pertempuran
ini, Turki Usmani mengalami kekalahan yang mengakibatkan Tunisia dapat direbut
oleh musuh. Baru pada masa sultan berikutnya, Sulyan Murad III, pada tahun 1575
M Tunisia dapat direbut kembali.
Walaupun
Sultan Murad III (1574-1595 M) berkepribadian jelek dan suka memperturutkan
hawa nafsunya, Kerajaan Usmani pada masanya berhasil menyerbu Kaukasus dan
menguasai Tiflis di Laut Hitam (1577 M), merampas kembali Tabriz, ibukota
Safawi, menundukkan Georgia, mencampuri urusan dalam negeri Polandia dan
mengalahkan Bosnia pada tahun 1593 M.
Namun,
kehidupan moral sultan yang jelak menyebabkan timbulnya kekacauan ini makin
menjadi-jadi dengan tampilnya Sultan Muhammad III (1595-163 M), pengganti Murad
III, yang membunuh semua saudara laki-lakinya berjumlah 19 orang dan
menenggelamkan janda-jandanya ayahnya sejumlah 1 orang demi kepentingan
pribadi. Dalam situasi yang kurang baik itu, Austria berhasil memukul Kerajaan
Usmani. Meskipun Sultan Ahmad I (1603-1617 M), pengganti Muhammad III, sempat
bangkit untuk memperbaiki situasi dalam negeri, tetapi kejayaan Kerajaan Usmani
di mata bangsa-bangsa Eropa sudah mulai memudar. Sesudah Sultan Ahmad I
(1603-1617 M), situasi semakin memburuk dengan naiknya Mustafa I masa
pemerintahannya yang pertama (1617-1618 M) dan keuda (1622-1623 M). Karena
gejolak politik dalam negeri tidak bisa diatasinya, Syaikh
Al-Islam mengeluarkan fatwa agar ia turun dari tahta dan
diganti oleh Usman II (1618-1622 M). Namun, yang tersebut terakhir ini juga
tidak mampu memperbaiki keadaan. Dalam situasi demikian, bangsa Persia bangkit
mengadakan perlawanan merebut wilayahnya kembali. Kerajaan Usmani sendiri tidak
mampu berbuat banyak dan terpaksa melepaskan wilayah Persia tersebut..
langkah-langkah perbaikan kerajaan mulai diusahakan oleh Sultan Murad IV
(1623-1640 M). Pertama-tama, ia mencoba menyusun dna menertibkan pemerintahan
Pasukan Jenissari yang pernah menumbangkan Usman II dapat dikuasainya. Akan
tetapi, masa pemerintahannya berakhir sebelum ia berhasil menjernihkan situasi
negara secara keseluruhan.
Situasi
politik yang sudah mulai membaik itu kembali merosot pada masa pemerintahan
Ibrahim (1640-1648 M), karena ia termasuk orang yang lemah. Pada masanya ini,
orang-orang Venetia melakukan peperangan laut melawan dan berhasil mengusir
orang-orang Turki Usmani dari Cyprus dan Creta tahun 1645 M. Kekalahan itu
membawa Muhammad Koprulu (berasal dari Kopru dekat Amasia di Asia kecil) pada
kedudukan sebagai wazir atau shard
al-a’zham (perdana menteri) yang diberi kekuasaan
absolut. Ia berhasil mengembalikan peraturan dan mengkonsolidasikan stabilitas
keuangan negara. Setelah Koprulu meninggal (1661 M), jabatannya dipegang oleh
anaknya, Ibrahim, Ibrahim menyangka bahwa kekuatan militernya sudah pulih sama
sekali.
Karena itu, ia menyerbu
Hongaria dna mengancam Vienna. Namun, perhitungan Ibrahim meleset, ia kalah
dalam pertempuran itu secara berturut-turut. Pada masa-masa selanjutnya,
wilayah Turki Usmani yang luas itu sedikit demi sedikit terlepas dari
kekuasaannya, dierbut oleh negara-negara Eropa yang baru mulai bangun.
Pada tahun 1699 M, terjadi
“Perjanjian Karlowith” yang memaksa Sultan untuk menyerahkan seluruh Hongaria,
sebagian besar Slovenia dan Croasia kepada Hapsburg dan Hemenietz, Padolia,
Ukrania, Morea, dan Dalmatia kepada orang-orang Venetia. Pada tahun 1770 M,
tentara Rusia mengalahkan armada tentara Rusia ini dapat dikalahkan kembali
oleh Sultan Mustafa III (1757-1774 M) yang segera dapat mengkonsolidasi
kekuataannya.
Sultan
Mustafa III diganti oleh saudaranya, Sultan abd Al Hamid (1774-1789 M), seorang
yang lemah. Tidak lama setelah naik tahta, di Kutchuk Kinarja, ia mengadakan
perjanjian yang dinamakan “Perjanjian Kinarja” dengan Catherine II dari Rusia.
Isi perjanjian itu antara lain : (1) Kerajaan Usmani harus menyerahkan
benteng-benteng yang berada di Laut Hitam kepada Rusia dan memberi izin kepada
armada Rusia untuk melintasi selat yang menghubungkan Laut Hitam dengan Laut
Putih, dan Kerajaan Usmani mengakui kemerdekaan Kirman.
Demikianlah
proses kemunduran yang terjadi di Kerajaan Usmani selama 2 abad lebih setelah
ditinggal Sultan Sulaiman Al-Qanuni. Tidak ada tanda-tanda membaik sampai paroh
pertama abad ke-19 M. Oleh karena itu, satu per satu negeri-negeri di Eropa
yang pernah dikuasai kerajaan ini memerdekakan diri. Bukan hanya negeri-negeri
di Eropa yang memang sedang mengalami kemajuan yang memberontak terhadap
kekuasaan Kerajaan Usmani, tetapi juga beberapa daerah di Timur Tengah mencoba
bangkit memberontak.
Di Mesir, kelemahan-kelemahan
Kerajaan Usmani membuat Mamalik bangkit kembali. Di bawah kepemipinan Ali Bey,
pada tahun 1770 M, Mamalik kembali berkuasa di Mesir, sampai datangnya Napoleon
Bonaparte dari perancis tahun 1978 M. Di Libanon dan Syria, Fakhr Al-Din,
seorang pemimpin Druze berhasil menguasai Palestina dan pada tahun 1610 M,
merampas Bahalbak dan mengancam Damaskus Fakhr Al-Din baru menyerah tahun 1635
M. Di Persia, Kerajaan Safawi ketika masih jaya beberapa kali mengadakan
perlawanan terhadap Kerajaan Usmani dan beberapa kali pula ia keluar sebagai
pemenang. Sementara itu, di Arabia bangkit kekuatan baru, yaitu aliansi antara
pemimpin agama Muhammad ibn Abd Al-Wahhab yang dikenal dengan gerakan
Wahhabiyyah dengan penguasa lokal Ibn Sa’ud. Mereka berhasil menguasai beberapa
daerah di jaziarh Arab dan sekitarnya di awal paroh kedua abad ke-18 M. Dengan
demikian, pemerontakan-pemberontakan yang terjadi di Kerajaan Usmani ketika ia
sedang mengalami kemunduran, bukan saja terjadi di daerah-daerah yang tidak
beragama Islam, tetapi juga di daerah-daerah yang berpenduduk Muslim.
Gerakan-gerakan seperti it
uterus berlanjut dan bahkan menjadi lebih keras pada masa-masa sesudahnya,
yaitu pada abad ke-19 dan ke-20 M. Ditambah dengan gerakan pembaharuan politik
di pusat pemerintahannya, Kerajaan Usmani berakhir dengan berdirinya Republik
Turki pada tahun 1924 M.
Banyak
faktor yang menyebabkan Kerajaan Usmani itu mengalami kemunduran, di antaranya
adalah :
1. Wilayah
kekuasaan yang sangat luas
Administrasi
pemerintahan bagi suatu negara yang amat luas wilayahnya sangat rumit dan
kompleks, sementara administrasi pemerintahan Kerajaan Usmani tidak beres. Di
pihak lain, para pengusaha sangat berambisi menguasai wilayah yang sangat luas,
sehingga mereka terlibat perang terus menrus dengan berbagai bangsa. Hal ini
tentu menyedot banyak potensi yang seharusnya dapat digunakan untuk membangun
negara.
2. Heterogonitas
penduduk
Sebagian
kerajaan besar, Turki Usmani menguasai wilayah yang amat luas, mencakup Asia
Kecil, Armenia, Irak, Syria, Hejaz, dan Yaman di Asia, Mesir, Libia, Tunis, dan
Aljazair di Afrika, dan Bulgaria, Yunani, Yugoslavia, Albania, Hongaria, dan
Rumania di Eropa. Wilayah yang luas itu didiami oleh penduduk yang beragam, baik
dari segi agama, ras, etnis maupun adat istiadat. Untuk mengatur penduduk yang
beragam dan tersebar di wilayah yang luas itu, diperlukan suatu organisasi
pemerintahan yang teratur. Tanpa didukung oleh administrasi yang baik, Kerajaan
Usmani hanya akan menanggung beban yang berat akibat heterogenitas tersebut.
Perbedaan bangsa dan agama cap kali melatarbelakangi terjadinya pemberontakan
dan peperangan.
3. Kelemahan
para penguasa
Sepeninggal
Sulaiman Al-Qanuni, Kerajaan Usmani diperintah oleh sultan-sultan yang lemah,
baik dalam kepribadian terutama dalam kepemimpinannya. Akibatnya, pemerintahan
menjadi kacau. Kekacauan itu tidak pernah dapat diatasi secara sempurna.
4.
Budaya pungli
Pungli
merupakan perbuatan yang sudah umum terjadi dalam Kerajaan Usmai. Setiap
jabatan yang hendak diraih oleh seseorang harus “dibayar” dengan sogokan kepada
orang yang berhak memberikan jabatan tersebut. Berjangkitnya budaya pungli ini
mengakibatkan dekadensi moral kian merajalela yang membuat pejabat semakin
rapuh.
5. Pemberontakan tentara
Jenissari
Kemajuan
ekspansi Kerajaan Usmani banyak ditentukan oleh kuatnya tentara Jenissari.
Dengan demikian, dapat dibayangkan bagaimana kalau tentara ini memberontak.
Pemberontakan tentara Jenissari terjadi sebanyak empat kali, yaitu pada tahun
1525 M, 1623 M, 1727 M, dan 1826 M.
6.
Merosotnya ekonomi
Akibat
perang yang tak pernah berhenti, perekonomian negara merosot. Pendapatan
berkurang, sementara belanja negara sangat besar termasuk untuk biaya perang.
7. Terjadinya Stagnasi dalam lapangan ilmu dan
pengetahuan
Kerajaan
Usmani kurang berhasil dalam pengembangan ilmu dan teknologi, karena hanya
mengutamakan pengembangan kekuatan militer. Kemajuan militer yang tidak
diimbangi oleh kemajuan ilmu dan teknologi menyebabkan kerajaan ini tidak
sanggup menghadapi persenjataan musuh dari Eropa yang lebih maju. Sebagaimana
disebutkan pada bab terdahulu, tidak terjadinya perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam Kerajaan Usmani, ada kaitannya dengan perkembangan metode
berpikir tradisional di kalangan umat Islam. Hal itu juga sejalan dengan
menurunnya semangat berpikiran bebas akibat tidak berkembangnya pemikiran
filsafat sejak masa Al-Ghazali.
Demikianlah proses kemunduran
kerajaan besar Usmani. Pada masa selanjutnya, di periode modern, kelemahan
kerajaan ini menyebabkan kekuatan-kekuatan Eropa tanpa segan-segan menjajah dan
menduduki daerah-daerah Muslim yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kerajaan
Usmani, terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan dari isi makalah tersebut penulis menyimpulkan bahwa
kemunduran-kemunduran dari tiga kerajaan tersebut adalah dimuali setelah masa
berakhirnya tiga orang raja besar di kerajaan tersebut.
Seperti Kerajaan
Usmani mencapai kejayaan pada masa Sultan Sulaiman Al-Qanuni (1520-1566 M),
Kerajaan Safawi mengalami puncak kejayaan pada masa Abbas I (1588-1628 M). Dan
Kerajaan Mughal mengalami puncak kejayaan pada masa Sultan Akbar (1542-1605 M).
Dan proses kemunduran tersebut berlangsung dalam kecepatan yang berbeda-beda.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Badri Yatim MA. 2005. Sejarah Peradaban Islam (SPI). Jakarta : Raja Grafindo Persada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1980, Sejarah Umum I Untuk
SMP,Jakarta
Soeroto, 1968, Sejarah Indonesia dan Dunia. Jilid 1 untuk SMP, Gajah Mada, Jakarta.
M.C. Ricklefs. 1998. Sejarah Nasional Indonesia IV. Yogakarta:
UGM.
Marwati.Nugroho.1993. Sejarah Nasional Indonesia IV. Jakarta: balai
Pustaka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar